Pembangunan Batalyon TNI Terus Berlanjut: Mualem Diam, DPRA Bungkam!
Namun, pada isu yang jauh lebih fundamental—penambahan kekuatan militer secara sistemik di tanah Aceh—Mualem justru diam seribu bahasa. Tak satu pun pernyataan keluar darinya.
Tidak ada sikap resmi dari Pemerintah Aceh. Tidak ada protes, tidak ada keberatan, bahkan tidak ada kejelasan apakah Mualem setuju atau tidak.
Lebih parah lagi, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang seharusnya menjadi lembaga politik pengawal otonomi Aceh pun ikut bungkam. Tidak ada rapat untuk penolakan pembangunan lima batalyon baru TNI di Aceh.
Tidak ada inisiatif meninjau ulang proyek yang begitu besar dan kontroversial itu. Mereka hanya diam.
MoU Helsinki membatasi jumlah personel TNI di Aceh hanya 14.700 orang. Itu adalah kesepakatan resmi yang diakui dunia internasional. Ia menjadi dasar terbentuknya Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang memberikan kewenangan khusus bagi Aceh dalam mengatur keamanan dan urusan internal lainnya.
Namun hari ini, ketika tambahan ±6.000 hingga 18.000 personel digeser masuk Aceh, tidak ada transparansi.
Bahkan alasan yang digunakan pemerintah pusat—untuk mendukung ketahanan pangan—justru dianggap mengada-ada dan ofensif terhadap akal sehat.
“Kalau mau memperkuat ketahanan pangan, libatkan petani. Bukan bangun batalyon.”
— H. Sudirman alias Haji Uma, Anggota DPD RI dari Aceh.
Ia juga menyebut, proyek ini dilakukan tanpa komunikasi terbuka dengan Pemerintah Aceh maupun masyarakat lokal, yang justru menjadi pihak yang paling terdampak.
Sejak kapan pembangunan barak militer menjadi simbol kemajuan?
Mengapa ketika rakyat meminta sumur bor, kelas sekolah, rumah layak huni, dan jembatan di desa terpencil—jawabannya adalah markas tentara?
Apakah negara benar-benar mendengar? Ataukah Aceh hanya dianggap sebagai “wilayah yang harus diawasi,” bukan “provinsi yang dihormati”?
Hari ini rakyat Aceh bertanya: di mana Mualem dan DPRA saat Aceh kembali dihinggapi trauma militerisasi?
Damai itu bukan ketiadaan konflik. Damai adalah hasil dari keadilan, partisipasi, dan penghormatan terhadap janji. Ketika pemerintah pusat bertindak sepihak, dan elit lokal diam melihat rakyatnya dipinggirkan, maka perdamaian bukan lagi warisan, melainkan bom waktu.