Tiga Pemimpin Daerah Putra Aceh Gagal Bersatu Setelah Pangdam IM Diganti
Mayjen Niko Fahrizal lahir di Peunayong, Banda Aceh, dan menamatkan pendidikan militernya di Akademi Militer (Akmil) tahun 1991 dari korps Infanteri. Kariernya cukup panjang dan banyak bersinggungan dengan Aceh.
Kedekatannya dengan tanah kelahiran membuat banyak kalangan menaruh harapan besar bahwa kepemimpinannya dapat menjadi jembatan komunikasi antara pusat dan daerah, khususnya dalam menjaga stabilitas keamanan di Aceh pasca-konflik.
Harapan Publik Pupus
Dengan pergantian Pangdam IM, formasi tiga putra Aceh di pucuk pimpinan Forkopimda yang sempat menyita perhatian publik kini buyar.
Sejumlah kalangan menilai, kehadiran tiga tokoh putra daerah di posisi strategis akan memberi energi baru dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat Aceh, termasuk menyelesaikan berbagai persoalan sisa konflik dan mempercepat pembangunan.
Namun kenyataan berkata lain. Kini hanya tersisa Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, dan Kapolda Aceh, Brigjen Pol Marzuki Ali Basyah, sebagai representasi putra daerah Aceh di kursi Forkopimda.
Dinamika Politik dan Keamanan Aceh
Pengamat politik dan keamanan Aceh menilai bahwa dinamika mutasi ini adalah hal wajar dalam tubuh TNI. Rotasi perwira tinggi dilakukan secara berkala demi penyegaran organisasi.
Kendati demikian, tidak sedikit masyarakat Aceh yang menyayangkan momen langka ini berakhir begitu cepat.
“Kesempatan tiga putra Aceh duduk bersama di Forkopimda sangat jarang terjadi. Ini seharusnya bisa menjadi momentum emas untuk membangun komunikasi politik dan keamanan yang lebih solid. Sayangnya, momen itu tidak bertahan lama,” ujar salah seorang akademisi di Banda Aceh.
Kini, tugas besar menjaga stabilitas Aceh pasca-perdamaian kembali menjadi tanggung jawab Pangdam IM yang baru, Mayjen Joko Hadi Susilo, bersama jajaran Forkopimda lainnya.
Masyarakat menanti sejauh mana kepemimpinan baru ini mampu meneruskan jejak pendahulunya sekaligus menjawab berbagai tantangan Aceh ke depan.