MaTA: Polisi Tak Ada Dasar Hukum Hentikan Kasus Korupsi SPPD Fiktif KKR Aceh
BANDA ACEH — Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menyesalkan keputusan Satreskrim Polresta Banda Aceh yang menghentikan penyelidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi kegiatan perjalanan dinas (SPPD) fiktif pada lembaga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh.
Pengembalian uang kerugian negara dalam kasus SPPD fiktif tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk penghentian penyelidikan, uang yang dikembalikan dari kasus korupsi itu tidak menghilangkan unsur pidananya.
“Penyelesaian kasus korupsi SPPD fiktif KKR Aceh secara restorative justice oleh Polresta Banda Aceh dengan pengembalian uang kerugian negara ini sebenarnya tidak mendasar,” ujar Koordinator Badan Pekerja MaTA) Alfian, dalam keterangannya kepada Infoaceh.net, Jum’at (8/9).
Yang seharusnya, kata Alfian, penyidik tetap harus berpedoman pada UU Tindak Pidana Korupsi Nomo 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diperbaharui oleh UU Nomor 20 tahun 2021, dimana pasal 4 pengembalian uang negara tidak menghapus tindak pidana.
“Jadi, penyelesaian kasus korupsi dengan restorative justice karena uang dikembalikan, itu tidak tepat. Tidak ada dasar hukumnya karena ini kasus korupsi, maka harus kembali ke UU Tipikor,” terang Alfian.
Restoratif Justice sendiri adalah untuk menyelesaikan kasus-kasus ringan tindak pidana umum pidana berdampak pada proses hukum.
Sementara tindak pidana korupsi adalah kasus berat yang masuk dalam kejahatan luar biasa dan Indonesia sudah menyatakan kasus korupsi, narkoba dan terorisme masuk ke dalam ranah tersebut.
Jadi, lanjut Alfian, tidak ada boleh ada negosiasi dan proses toleransi terhadap kasus tindak pidana korupsi yang terjadi.
Ketika kasus korupsi ini diselesaikan secara restorative justice, ungkap Alfian, ini akan berdampak buruk jika kasus korupsi yang lain juga meminta dilakukan hal yang sama yakni kembalikan uang, lalu hentikan penyelidikan dan tutup kasus lewat restorative justice.
“Jika perkara korupsi SPPD fiktif KKR Aceh ini diselesaikan secara restorative justice, lalu bagaimana jika pelaku kasus korupsi lain seperti kasus pengadaan lahan pusat zikir Nurul Arafah Islamic Center yang kini ditangani Polresta Banda Aceh juga meminta penyelesaian secara restorative justice dengan mengembalikan uang.