Lapas Sukamiskin, “Destinasi Wisata” Bagi Koruptor di Indonesia
Dengan sistem seperti itu, narapidana korupsi tidak pernah benar-benar kehilangan kekuatan atau pengaruh. Mereka bisa tetap mengatur bisnis dari dalam penjara, menerima tamu tanpa pembatasan, bahkan—dalam beberapa kasus—ikut mengatur peta politik nasional.
Simbol Rusaknya Rasa Keadilan
Fenomena Sukamiskin menciptakan jarak antara hukum dan rasa keadilan masyarakat. Rakyat kecil yang mencuri karena lapar bisa dihukum berat dan menjalani hukuman dalam kondisi keras. Sementara koruptor yang merampok miliaran uang negara, justru bisa tetap hidup nyaman meski berada dalam jeruji.
Ini menciptakan ketidakpercayaan publik yang kronis terhadap sistem hukum. Kita seperti hidup dalam parodi hukum: penjara jadi destinasi wisata, bukan hukuman.
Pentingnya reformasi menyeluruh terhadap sistem pemasyarakatan, terutama yang menyangkut napi korupsi. Tanpa pengawasan ketat, transparansi, dan sanksi serius terhadap oknum aparat, maka istilah “efek jera” hanya akan jadi slogan kosong.
Saatnya Mengakhiri ‘Wisata Jeruji’
Kementerian yang membawahi sistem pemasyarakatan, beberapa kali menyatakan akan melakukan pembenahan. Namun, publik masih menunggu tindakan konkret, bukan sekadar pernyataan normatif.
Kita menyarankan agar pengelolaan lapas bagi koruptor dipisahkan secara ketat, dengan sistem keamanan dan pemantauan digital yang tidak bisa dimanipulasi. Kita harus akui, penanganan korupsi selama ini setengah hati. Kalau penjara saja bisa disulap jadi ‘tempat wisata’, bagaimana rakyat bisa percaya pada keadilan?”
Lapas Sukamiskin, dalam bentuknya yang sekarang, telah menjadi simbol dari rapuhnya integritas hukum di Indonesia. Dari prasasti peresmian yang kini jadi ironi sejarah, hingga kenyataan bahwa banyak napi korupsi hidup nyaman di balik jeruji, semua menunjukkan bahwa kita masih jauh dari cita-cita sistem keadilan yang bersih dan setara.