Infoaceh.net

Portal Berita dan Informasi Aceh

Peran Akal dalam Memahami Ketuhanan Menurut Ibnu Rusyd

Gagasan Ibnu Rusyd mengajak kita untuk menyatukan iman dan nalar, syariat dan hikmah, dzikir dan pikir. Dalam kerangka pemikiran Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang menjadi arus utama di Indonesia, terutama di kalangan Nahdliyin, pandangan ini bukanlah hal yang asing. Para ulama pesantren sejak dahulu telah mengajarkan bahwa beragama harus disertai pemahaman.

Semua pengetahuan dan kaidah terkait qiyas ini tercakup dalam ilmu mantiq (logika). Oleh karena itu, menurut Ibnu Rusyd, ilmu mantiq menjadi bidang ilmu yang wajib dipelajari demi memperoleh pemahaman mendalam tentang ketuhanan.

Akal dan Wahyu: Dua Jalan Menuju Tuhan

Ibnu Rusyd meyakini bahwa akal dan wahyu berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah SWT. Oleh karena itu, keduanya tidak mungkin bertentangan secara hakiki. Dalam Fashlul Maqal, ia menyatakan bahwa filsafat adalah sahabat syariat dan saudara sesusuannya (hlm. 125).

Dengan demikian, keduanya pada hakikatnya senantiasa menuntun manusia menuju kebenaran. Berpikir logis, bertanya, meneliti, dan menggunakan akal sehat bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan iman. Justru semua itu merupakan bagian dari jalan untuk memahami agama secara lebih mendalam.

Ibnu Rusyd menggunakan istilah “saudara sesusuan” sebagai metafora untuk menggambarkan kedekatan antara filsafat dan syariat. Dalam tradisi Arab, dua anak yang disusui oleh perempuan yang sama memiliki ikatan yang erat, meskipun tidak memiliki hubungan darah. Mereka tumbuh bersama, saling mengenal, dan tidak boleh dipisahkan. Begitulah hubungan antara filsafat dan agama: meskipun pendekatannya berbeda, yang satu melalui wahyu, yang lain melalui akal, keduanya saling melengkapi, bukan saling menafikan.

Pandangan ini sejalan dengan pemikiran ulama Ahlussunnah wal Jamaah yang menerima akal sebagai sumber hukum sekunder setelah Al-Qur’an dan hadis. Pemikiran serupa juga dapat ditemukan dalam karya-karya Imam Al-Ghazali dan Imam Fakhruddin ar-Razi, yang menjelaskan pentingnya akal dalam memahami ajaran agama. Hal ini berbeda dengan pendekatan kelompok Dzahiriyyah, yang menolak peran akal dan hanya menerima teks secara literal dari Al-Qur’an dan hadits, tanpa penalaran rasional.

Gagasan Ibnu Rusyd mengajak kita untuk menyatukan iman dan nalar, syariat dan hikmah, dzikir dan pikir. Dalam kerangka pemikiran Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang menjadi arus utama di Indonesia, terutama di kalangan Nahdliyin, pandangan ini bukanlah hal yang asing. Para ulama pesantren sejak dahulu telah mengajarkan bahwa beragama harus disertai pemahaman.

author avatar
Redaksi
Redaksi INFOACEH.net

Lainnya

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Tutup