Abiya Jeunieb Kagumi Manuskrip Aceh, Perlu Diterjemahkan dalam Bahasa Kekinian
“Tinggal sekarang meramu kembali pemikiran-pemikiran ulama dulu, baik ekonomi syariah, baik kitab ibadah karangan Syekh Nuruddin al Ranirry dalam kitab As Shiratal Mustaqim, dan petuah-petuah untuk Aceh lainnya, yang hingga sekarang kita tidak mengetahui karena sumber primer dari peninggalan ulama ini sudah langka dan sulit ditemukan,” kata Abiya Jeunieb seperti disampaikan Cek Midi lewat keterangan tertulisnya kepada media, Jum’at (11/8).
Rasa kagum yang tak terhingga terhadap khazanah budaya Islam tersebut turut membuat Abiya Jeunieb berkeinginan melakukan kajian rutin di Rumoh Manuskrip Aceh. Dia berharap dengan kajian rutin tersebut pula dirinya akan dapat mengkaji satu persatu warisan ilmu yang ditinggalkan ulama Aceh masa lalu, dan kemudian diteruskan kepada generasi sekarang ini.
Selanjutnya Abiya melakukan ceramah dan kajian manuskrip selama 45 menit dengan judul “Memuliakan Khazanah Ulama Aceh, Perspektif Manuskrip”.
Cek Midi menyampaikan penghormatan setinggi-tingginya kepada Tuan Guru Abiya Jeunieb yang bersedia meluangkan waktu u
memenuhi undangannya berkunjung ke Rumoh Manuskrip Aceh.
“Ini luar biasa, penghormatan yang tak terhingga kepada guru kita Abiya Jeunieb yang bersedia memenuhi undangan saya di tengah padatnya jadwal beliau mengisi ceramah di Aceh,” kata Cek Midi.
Di kesempatan yang sama, Filolog Aceh Hermansyah, juga turut mengimbau seluruh warga Aceh yang menemukan manuskrip, tetapi tidak memahami isi dan belum mampu merawatnya untuk dapat menyimpannya di Rumoh Manuskrip Aceh.
Di Rumoh Manuskrip Aceh, menurutnya, semua karya ilmiah cendikiawan muslim masa lalu akan dikaji untuk kemudian diterjemahkan dalam naskah kekinian agar dapat dipahami oleh generasi masa kini.
“Saat ini, fenomena yang terjadi terhadap literasi masa lalu Aceh justru lebih mendapat penghargaan dari cendikiawan luar negeri. Mereka memburu karya-karya ulama Aceh terdahulu, kemudian menyimpan serta membukukannya dengan baik. Ini sangat berbeda dengan kondisi di daerah kita, yang terkadang ada orang-orang Aceh sendiri justru menyimpan karya intelektual ulama di kandang ayam dan sebagainya,” pungkasnya. (IA)