Disinformasi dan Narasi Negatif di Medsos Picu Aksi Tolak Rohingya di Aceh
Namun situasi terparah terjadi Rabu (27/12) kemarin. Mahasiswa melakukan aksi. Awalnya menyasar gedung DPRA.
Setelah orasi dan berjumpa dgn salah satu anggota dewan yang mengiyakan tuntutan soal Tolak Rohingya, massa beralih ke Gedung Balee Meuseuraya Aceh (BMA) dimana 137 pengungsi, yang awalnya mendarat di Ladong dan dipingpong ke sejumlah lokasi tetapi ditolak, berada.
Dari sini, di basemen, BMA mahasiswa menerobos barikade, bergerak menuju ke pusat penempatan pengungsi di mana sejumlah pengungsi laki-laki kala itu sedang salat zuhur berjemaah.
Tidak cukup sampai di situ, di dalam video yang tersebar di medsos, mahasiswa menuju ke kumpulan pengungsi yang terdiri dari perempuan dan anak-anak, lalu mulai berteriak serta menendang sejumlah barang ringan yang terhempas ke udara. Pengungsi saat itu hanya bisa pasrah dengan wajah memelas. Banyak juga yang histeris karena panik.
Mengapa mahasiswa ini yang seharusnya bertindak membela rakyat marginal, justru bertindak anarkis pada pengungsi? Apakah ada faktor yang menyebabkan hal ini? Soal faktor pastinya kita tidak bisa berjudi dengan cara menerka-nerka termasuk menaruh kecurigaan bahwa apakah di balik semua gerakan penolakan ini ada aktor-aktor intelektual.
Yang, pasti ini tampaknya terkoordinasi dengan baik. Termasuk juga serangan kebencian tidak saja menyasar pengungsi, tetapi ikut juga menargetkan staf pekerja kemanusiaan dan pihak-pihak yang dinilai mendukung atau propengungsi.
Apa yang perlu pihak berwenang lakukan agar masyarakat Aceh mampu diredam dan kembali merawat situasi damai dengan pengungsi? Jika yang berwenang melakukan tugas dan tanggung jawabnya mungkin apa yang terjadi hari ini di BMA dimana mahasiswa merangsek masuk ke basement di mana 137 pengungsi berada tidak akan terjadi.
Namun, yang bisa kita upayakan adalah Indonesia, dalam hal ini otoritasnya, harus menjelaskan ke publik bahwa selama ini telah beredar misinformasi dan disinformasi terkait pengungsi Rohingya yang telah berakibat fatal di mana stereotype tentang Rohingya kadung dibentuk oleh narasi dominan itu. Tentu saja ini memerlukan kerja keras, dan terkesan sia-sia.