Disinformasi dan Narasi Negatif di Medsos Picu Aksi Tolak Rohingya di Aceh
Namun, hal ini harus tetap diupayakan. Di Aceh, ulama saja sekarang tidak dipercaya apabila angkat bicara yang isinya pro pengungsi Rohingya. Ini artinya narasi negatif yang terbangun soal pengungsi sudah pekat dengan publik.
Menyoal potensi ujaran negatif dan disinformasi di medsos terhadap pengungsi Rohingya, akankah memicu konflik horizontal dan persekusi yang nyata pada para pengungsi?
Terlalu dini untuk menyatakan bahwa situasi ini akan berdampak terjadinya konflik horizontal dan persekusi. Namun, otoritas tentu saja harus memitigasi kemungkinan-kemungkinan seperti ini.
Termasuk juga memperhatikan apa dampak bagi Indonesia di mata internasional jika terjadi serangan fisik menyasar pengungsi.
Berkaitan erat dengan komitmen Indonesia dalam menerima dan menjaga pengungsi, Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 mengenai hak pengungsi dari luar negeri memang saat ini belum diratifikasi oleh Indonesia. Kekosongan ratifikasi ini menciptakan kerumpangan Indonesia dalam bertindak dalam situasi di Aceh, termasuk pemerintah daerah.
Meski begitu, Indonesia telah secara aktif meratifikasi Konvensi-konvensi HAM fundamental lainnya yang berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pengungsi. Pada konteks penyelamatan pengungsi yang melarikan diri, perlindungan terhadapnya adalah salah satu implementasi pemenuhan perlindungan hak atas kehidupan yang tercantum dalam Kovenan Internasional Mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik/ICCPR.
Selain itu, perlindungan pada kelompok rentan yang lebih khusus, yaitu perempuan dan anak-anak juga berkaitan pada situasi ini. Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan/CEDAW dan Konvensi mengenai Hak-Hak Anak/CRC. Sehingga, Konvensi-Konvensi HAM ini harus menjadi basis utama dalam perlindungan HAM bagi pengungsi Rohingya pada saat perjalanan, dalam proses penerimaan, dan pada saat mendarat dan mendapatkan perlindungan di wilayah Indonesia.
Sehingga, instrumen internasional ini dapat menyanggah argumen soal ketiadaan kewajiban negara dalam melindungi pengungsi Rohingya karena belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967.