Disinformasi dan Narasi Negatif di Medsos Picu Aksi Tolak Rohingya di Aceh
Selain itu, perlindungan ini juga berkaitan dengan perlindungan pengungsi dari adanya diskriminasi rasial yang tercipta akibat sirkulasi ujaran kebencian melalui media sosial dan media massa. Indonesia, telah meratifikasi Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial/ICERD.
Penting untuk kemudian mencatat mengenai cukup tingginya peredaran narasi untuk dilakukan pengembalian pengungsi Rohingya ke negara asal Myanmar.
Hal ini sangat berbahaya mengingat situasi yang belum aman bagi pengungsi Rohingya untuk kembali ke Myanmar, mengingat besarnya potensi bagi pengungsi Rohingya untuk terekspos pada penyiksaan dan diskriminasi terhadapnya.
Selain itu, hal ini juga melanggar prinsip fundamental dalam hukum internasional yaitu prinsip non-refoulement yang diatur dalam kebiasaan hukum internasional dan melalui Pasal 3 Konvensi Anti Penyiksaan/CAT yang telah diratifikasi Indonesia.
Dalam konteks instrumen hukum nasional, Indonesia telah memiliki Peraturan Presiden No. 125 Tahun 2016 Tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri/Perpres 125/2016.
Perpres ini harus menjadi acuan utama dalam konteks penanganan pengungsi yang berlaku sebagai dasar hukum tingkat nasional. Selain adanya implementasi mandat dari tiap-tiap badan negara yang tercantum dalam Perpres tersebut, Perpres ini harus dipahami, dihargai, dan terus menjadi pengingat bagi seluruh elemen masyarakat sipil agar perlindungan pengungsi terus berlanjut.
Lebih jauh, Indonesia sendiri telah mengakui hak seseorang untuk mendapatkan suaka politik sebagaimana tercantum dalam Pasal 28G ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Bab VI Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri, dan Pasal 28 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. (IA)